PEMBELAJARAN TEMATIK BERWAWASAN MARITIM UPAYA MEWUJUDKAN INDONESIA SEBAGAI POROS MARITIM DUNIA *)
*) Karya Juara Hrp 1 : Lomba LKT Darma Samudera 2015 Tingkat Nasional
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Seiring dengan arah kebijakan pembangunan Indonesia saat ini, dimana
kelautan menjadi faktor yang sangat penting dalam mendukung pembangunan
khususnya dari sektor ekonomi, maka kini sudah saatnya bagi bangsa Indonesia
untuk merubah paradigmanya dari “Land Based Socio-Economic” menjadi “Marine
Based Socio-Economic”.
Indonesia masih berorientasi pada daratan, seharusnya
dengan visi kemaritimannya, Indonesia diharapkan mampu berperan penting bagi
maritim dunia. Indonesia sudah sesuai geopolitik, geostrategis, dan geografinya
sebagai negara kepulauan untuk menjadi poros maritim dunia. Negara ini memiliki
empat titik strategis yang dilalui 40% kapal-kapal perdagangan dunia yaitu
Selat Malaka, Selat Sunda, Selat Lombok, dan Selat Makassar yang bisa
memberikan peluang besar untuk memfasilitasi Indonesia menjadi pusat industri
perdagangan serta pelayaran maritim dunia.
Potensi Indonesia yang besar tersebut, mulai dari sumber daya alam hingga
letaknya yang strategis disebut Son Diamar sebagai Negeri Maha Kaya.
"Tetapi, penduduk miskin Indonesia masih belum berkurang. Tentu ada
kesalahan. Ekonomi Indonesia masih terjajah. Berbagai sektor masih sebagan
besar dikuasai oleh asing. Seperti sektor perkebunan, hasil laut, pertambangan,
bank swasta, pelayaran, penerbangan, dan telekomunikasi.
Untuk meningkatkan pemahaman tentang wawasan kemaritiman
bangsa Indonesia khususnya bagi para generasi penerus bangsa diperlukan adanya
kesamaan persepsi tentang konstelasi geografi negara Indonesia sebagai sebuah
negara kepulauan atau pemahaman tentang archipelagic oriented. Sudah
saatnya bangsa Indonesia memandang laut sebagai sarana dan wahana untuk
mewujudkan satu kesatuan wilayah negara dalam arti politik, hukum, ekonomi,
sosial budaya dan pertahanan keamanan serta merupakan salah satu medan juang
dalam upaya pembangunan nasional guna mewujudkan kesejahteraan bangsa Indonesia
(Marsetio, 2014).
Disamping itu hadirnya pemimpin baru yang memiliki wawasan maritim dan
bertekad menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia adalah sebuah modal
peluang sekaligus tantangan untuk dapat mengembalikan kejayaan maritim bangsa
ini. Karenanya, tugas berat ini harus didukung bersama-sama, dimana dengan
keterlibatan aktif semua pihak, diharapkan bangsa ini akan kembali menjadi
bangsa maritim yang besar, kuat, makmur dan sejahtera serta disegani oleh
negara-negara lain di dunia. Bangsa yang akan menjadi kiblat kesuksesan
maritim, seperti yang dicanangkan oleh Presiden RI saat ini, yakni menjadi
poros maritim dunia, harap Kasal, Laksamana TNI Dr. Marsetio (Marsetio, 2/11/2014).
Untuk dapat menjadi masyarakat
“agro-bahari” sejati yang maju dan kuat, SDM Indonesia tentu harus menguasai
dan memanfaatkan laut dan kekayaannya secara cerdas dan bijaksana untuk tidak
mengulang kekekliruan matra darat yang nyaris “dihabisi”. Demikian juga
eksplorasi dan eksploitasi sumber daya laut sebagian besar masih dikuasai oleh
tenaga ahli asing. Oleh karena itu, penelitian, pendidikan, dan pengembangan
kelautan perlu menjadi kesadaran kita bersama. Demikian juga pendidikan
kemaritiman perlu dikembangkan melalui jalur pendidikan formal, informal,
maupun nonformal.
Kembali lagi, bahwa pembinaan SDM
merupakan kunci guna mempertahankan eksistensi dan meningkatkan kinerja,
dilaksanakan melalui serangkaian program pendidikan dan pelatihan. Implementasi
program edukasi dan pelatihan yang berkesinambungan diharapkan dapat
memantapkan upaya-upaya pembentukan modal manusia atau SDM yang unggul dan
bermanfaat. Menyadari pentingnya melestarikan dan menggelorakan jiwa dan
semangat bahari, termasuk di dalamnya pemahaman terhadap potensi kelautan
Indonesia, pemanfaatan, dan pelestariannya, perlu dirancang program ‘rindu
bahari’ dengan target kalangan generasi muda,
serta program kebaharian lainnya dengan target kalangan masyarakat luas.
Oleh karena itu informasi publik tentang potensi maritim
NKRI yang besar perlu digalakkan, baik melalui seminar, lomba, festifal,
talk-swow di media, dan utamanya melalui jalur pendidikan. Mengingat jalur pendidikan merupakan jalur
yang paling efektif dan efisien dalam menciptakan generasi muda yang handal dan
dapat meneruskan cita-cita yang luhur ini.
Pengertian, tanggung jawab, dan penerapan gerakan
maritimisasi dapat dilakukan melalui jalur pendidikan. Baik pendidikan formal,
non formal maupun informal, mulai dari pendidikan TK, SD, SMP, SMA, sampai
perguruan tinggi. Akhirnya akan menjadi norma dan budaya bangsa dalam ikut
serta menerapkan gerakan tersebut.
Untuk mengetahui sejauh mana upaya pentingnya gerakan
maritimisasi dan mengoptimalkan potensi bahari NKRI pada sekolah dasar (elementary
school) melalui pembelajaran tematik maka dilakukan penelitian
ini.
B. RUMUSAN
MASALAH
Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, masalah-masalah pokok di
dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut :
1. Bagaimana
upaya elementary school dalam mendidik generasi muda berwawasan
maritim?
2. Bagaimana
upaya elementary school dalam mengoptimalkan potensi bahari NKRI?
3. Apakah pembelajaran
tematik berwawasan maritim dapat mengoptimalkan potensi bahari NKRI?
C. TUJUAN
PENELITIAN
Adapun tujuan
penelitian ini adalah :
1. Untuk
memperoleh informasi potensi dan kedala bahari NKRI.
2. Untuk
mengetahui upaya optimalisasi potensi bahari NKRI.
3. Untuk
mengetahui upaya elementary school dalam mendidik generasi muda
berwawasan maritim.
4. Untuk
mengetahui pembelajaran tematik berwawasan maritim dapat mengoptimalkan potensi
bahari NKRI
D. MANFAAT
PENELITIAN
1. Bagi
Peneliti
a. Sebagai
ajang penuangan ide atau pemikiran.
b. Sebagai
ajang pemecahan terhadap masalah yang diteliti.
c. Sebagai
wujud kepedulian terhadap gerakan maritimisasi.
2. Bagi
Lembaga Pendidikan
a. Sebagai
informasi tentang pentingnya penyadaran gerakan maritimisasi lewat pendidikan dasar.
b. Sebagai
sumbangan pemikiran terhadap optimalisasi potensi bahari pada siswa sekolah
dasar.
BAB II
KAJIAN
PUSTAKA
A. Potensi
dan Kendala Bahari NKRI
Gambaran besarnya poteni bahari NKRI dapat dilihat dari
luas wilayahnya yang membentang dari Sabang sampai Merauke. Secara kewilayahan
Indonesia memiliki luas wilayah yurisidiksi nasional ± 7,8 juta km² dengan dua
pertiga wilayahnya adalah laut seluas ± 5,9 juta km², yang mencakup Zona
Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) seluas ± 2,7 juta km² dan Laut Wilayah,
Perairan Kepulauan serta Perairan Pedalaman seluas ± 3,2 juta km². Selain itu
memiliki panjang garis pantai ± 81.000 km, serta memiliki 17.499 pulau yang
terdiri atas 5.698 pulau bernama dan 11.801 pulau tidak/belum bernama. Status
Indonesia sebagai negara kepulauan diperoleh melalui perjuangan diplomasi yang
panjang dan status ini telah diakui dunia sejak Konvensi Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) mengenai Hukum Laut Internasional atau the United
Nations Convention on the Law of the Sea 1982 (UNCLOS 1982). Indonesia telah
meratifikasi konvensi tersebut dengan menerbitkan Undang-Undang RI Nomor 17
Tahun 1985 (Marsetio, 2014).
LUAS lautan dibandingkan luas daratan di dunia mencapai
kurang lebih 70 berbanding 30, sehingga menjadi tantangan tersendiri bagi
negara-negara di dunia yang memiliki kepentingan laut untuk memajukan
maritimnya. Seiring perkembangan lingkungan strategis, peran laut menjadi
signifikan serta dominan dalam mengantar kemajuan suatu negara.
Data Food and Agriculture Organization di 2012, Indonesia
pada saat ini menempati peringkat ketiga terbesar dunia dalam produksi
perikanan di bawah China dan India. Selain itu, perairan Indonesia menyimpan 70
persen potensi minyak karena terdapat kurang lebih 40 cekungan minyak yang
berada di perairan Indonesia. Dari angka ini hanya sekitar 10 persen yang saat
ini telah dieksplor dan dimanfaatkan.
Potensi lestari sumber daya ikan laut sekitar 6,4 juta ton/tahun atau 7,5
persen dari total potensi lestari ikan laut dunia, yang terdiri dari 4,5 juta
ton dari perairan nusantara dan 2,1 juta ton dari perairan ZEE, saat ini
tingkat pemanfaatannya baru 4,4 juta ton. Masih ada peluang mengembangkan usaha
perikanan tangkap di daerah-daerah seperti pantai barat Sumatra, pantai selatan
Jawa, Bali, NTB, dan NTT sampai ke ZEEI (Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia) di
Samudra Hindia; Teluk Tomini; Laut Sulawesi; Laut Banda; dan ZEEI di Samudra
Pasifik. Potensi produksi SDI usaha perikanan budidaya jauh lebih besar
ketimbang perikanan tangkap, sekitar 58 juta ton per tahun, dan baru diproduksi
sebesar 1,6 juta ton (0,3 persen).
Fakta ini menunjukkan bahwa masih sangat besar potensi ikan yang belum
tergarap, bahkan akhirnya sering dicuri oleh nelayan tetangga. Pemanfaatan
budidaya perikanan pantai Indonesia pun baru memanfaatkan sekitar 38% dari
potensi yang ada. Padahal, Indonesia memiliki perairan pantai yang dapat
digunakan untuk budidaya laut (perikanan) seluas 18.700 ribu hektar dengan
perkiraan hasil produksinya sebanyak 5 juta ton/tahun.
Tentu saja potensi laut bukan hanya berupa ikan konsumsi dengan segala
jenisnya, seperti yang telah dijelaskan di awal, tetapi masih banyak peluang
ekonomi lain yang dapat dieksploitasi dari ikan hias, wisata bahari, rumput laut, termasuk
mutiara yang dapat dikembangkan pada wilayah laut tertentu. Khusus untuk rumput
laut misalnya, untuk jenis E. Cottoni kebutuhan dunia mencapai 50.000
ton/tahun, tetapi baru dipenuhi sekitar 42.000 ton dengan komposisi eksport
dari Indonesia hanya 6.000 ton. Sedangkan untuk jenis Gracillaria dunia
membutuhkan 9.000 ton, sedangkan Indonesia baru andil 1.500 ton. Bahkan
mengejutkan ketika melihat realita bahwa Filipina ternyata menguasai pasaran
dunia rumput laut, sedangkan Indonesia yang memiliki laut yang lebih luas
ternyata hanya berada di urutan kedua.
Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia belum
merasakan peran signifikan dari potensi maritim yang dimiliki yang ditandai
dengan belum dikelolanya potensi maritim Indonesia secara maksimal. Dengan
beragamnya potensi maritim Indonesia, antara lain industri bioteknologi
kelautan, perairan dalam (deep
ocean water), wisata bahari, energi kelautan, mineral laut,
pelayaran, pertahanan, serta industri maritim, sebenarnya dapat memberikan
kontribusi besar bagi kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Indonesia.
Kendala utama di sektor kelautan dan perikanan adalah kemiskinan nelayan
sebagai pelaku utamanya-65 persen nelayan hidup miskin-begitu pula pembudidaya
perikanan tradisional. Terjadi overfishing (tangkap lebih) di beberapa wilayah,
kerusakan lingkungan, illegal fishing (penangkapan ikan secara ilegal) terutama
oleh kapal asing yang menyebabkan kerugian negara 4 miliar dollar AS per tahun
serta kurangnya penanganan dan pengolahan hasil perikanan.
Belum lagi tantangan global yang
kini harus dihadapi seiring liberalisasi perdagangan dunia, ketatnya persaingan
produk perikanan di masa datang yang menuntut ketersediaan produk secara
teratur dan sinambung, kualitas yang baik dan seragam, serta tersedia secara
massal, dan memenuhi standar kelestarian lingkungan. Ini sebuah kerja besar.
Bukan mustahil untuk diwujudkan, sepanjang ada kesungguhan dan tidak berhenti
hanya pada jargon (Elly Rosita).
Eksploitasi
sumber daya laut di kawasan perbatasan merupakan permasalahan klasik dan akan
terus terjadi. Hal ini akan bertambah buruk dan dapat menjadi konflik bila
tidak ditangani dengan serius oleh Pemerintah, utamanya tentu yang terjadi di
kawasan perbatasan.
Pulau
terluar bisa hilang secara sosiologis. Hal ini biasanya diawali oleh praktek
ekonomi masyarakat di pulau tersebut, yang diikuti dengan interaksi sosial
(perkawinan) dari generasi ke generasi, sehingga terjadilah perubahan struktur
ekonomi maupun struktur populasi penduduk di pulau tersebut. Pulau Marore dan
Pulau Miangas di kepulauan Sangir Talaud merupakan lepasnya pulau ini karena
faktor di atas (Marsetio, 2014).
B. Upaya Optimalisasi Potensi
Bahari NKRI
Telah dijelaskan sebelumnya bahwa salah satu keunggulan yang dimiliki
Indonesia adalah kelautan. Sangatlah penting bagi kita untuk mengutamakan
kebijakan yang berbasis kelautan. Salah satu tawaran saya adalah mentradisikan
hobi makan ikan laut, lengkap dengan berbagai pengembangan diversifikasi
pengolahan ikan laut, persis dengan yang dikembangkan oleh masyarakat Jepang.
Eksploitasi hasil laut (ikan, rumput laut, serta berbagai kekayaan lain di
dalamnya) dimanfaatkan terutama untuk memenuhi gizi di dalam negeri. Target
produksi berlebih baru diproyeksikan bagi komoditi eksport. Kebijakan konsumsi
produk kelautan ini dimaksudkan sebagai proses diversifikasi pangan tak hanya
beras, tetapi juga untuk meningkatkan gizi masyarakat dan memanfaatkannya
secara optimal (Jerryindrawan, ..)
Dalam UUD 1945 pasal 33 ayat (3) disebutkan, bahwa bumi
dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan
dipergunakan untuk kemakmuran rakyat. Meskipun begitu tidak dapat dipungkiri
juga bahwa kekayaan alam khususnya laut di Indonesia masih banyak yang dikuasai
oleh pihak asing, dan tidak sedikit yang sifatnya ilegal dan mementingkan
kepentingan sendiri.
Dalam hal ini, peran Pemerintah (government will)
dibutuhkan untuk bisa menjaga dan mempertahankan serta mengolah kekayaan dan
potensi maritim di Indonesia. Untuk mengolah sumber daya alam laut ini,
diperlukan perbaikan infrastruktur, peningkatan SDM, modernisasi teknologi dan
pendanaan yang berkesinambungan dalam APBN negara agar bisa memberi keuntungan
ekonomi bagi negara dan juga bagi masyarakat. Sebagaimana halnya teori lain
yang dikemukakan oleh Alfred Thayer Mahan mengenai persyaratan yang harus
dipenuhi untuk membangun kekuatan maritim, yaitu posisi dan kondisi geografi,
luas wilayah, jumlah dan karakter penduduk, serta yang paling penting adalah
karakter pemerintahannya.
Selain perbaikan dan perhatian khusus yang diberikan
dalam bidang teknologi untuk mengelola sumber daya alam di laut Indonesia,
diperlukan juga sebuah pengembangan pelabuhan dan transportasi laut untuk
mendorong kegiatan maritim Indonesia menjadi lebih modern dan mudah digunakan
oleh masyarakat. Diharapkan juga peran swasta untuk mendukung jalannya
pemberdayaan laut ini, supaya program-program ini tidak hanya bergantung pada
dana APBN saja.
Dari sisi pertahanan, penguasaan laut berarti mampu
menjamin penggunaan laut untuk kepentingan nasional dan mencegah lawan
menggunakan potensi laut yang kita miliki. Pemerintah perlu segera
menyelesaikan percepatan batas wilayah laut agar dapat memberikan memberikan
kepastian atas batas wilayah negara dan dapat mempererat hubungan bilateral
antara negara yang berbatasan, serta mendorong kerja sama kedua negara yang
berbatasan di berbagai bidang termasuk dalam pengelolaan kawasan perbatasan,
misal terkait pelayaran, kelautan dan perikanan.
Berbagai upaya lainnya perlu dilaksanakan untuk menuju
Indonesia sebagai poros maritim dunia, antara lain penyempurnaan RUU Komponen
Cadangan dan Komponen Pendukung, penyelarasan sistem pendidikan dan pelatihan
kemaritiman, penguasaan kapasitas industri pertahanan khususnya industri
maritim, modernisasi armada perikanan, penguatan armada pelayaran rakyat dan
pelayaran nasional, pemantapan pengelolaan pemanfaatan laut melalui penataan
ruang wilayah laut, peningkatan litbang kemaritiman, dan diversifikasi sumber
energi terbarukan di laut.
Hasil laut baik berupa ikan, rumput laut, mutiara, barang
tambang, dan lain-lain. Belum banyak yang tergali dan dioptimalkan oleh bangsa
Indonesia.Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah untuk mendorong pemanfaatan
sumberdaya pesisir dan laut secara berkelanjutan, namun hingga saat ini belum
mendatangkan hasil sesuai yang diharapkan.
Bahkan saat ini, malah muncul kecenderungan meningkatnya aktivitas
pemanfaatan yang mengancam kelestarian sumberdaya pesisir dan laut. Ekowisata
pesisir dan laut merupakan bentuk pemanfaatan yang diyakini dapat membantu
mengatasi masalah tersebut. Diduga kuat bahwa pengembangan ekowisata pesisir
dan laut yang dilakukan selama ini belum berhasil dengan baik karena belum
dipertimbangkan atau diintegrasikannya berbagai komponen pengelolaan yang
terkait dengan kegiatan ekowisata. Komponen yang sering terabaikan atau luput dalam
pengembangan ekowisata pesisir dan laut, antara lain, adalah kondisi ekosistem
pesisir dan laut, sosial ekonomi masyarakat, kelembagaan masyarakat, dan sarana
wilayah.
Menjadi poros maritim dunia, itulah impian Indonesia
sebagai negara kepulauan terbesar di dunia. Namun, untuk memiliki kekuatan
kemaritiman, Indonesia perlu menghadapi tantangan-tantangan. Berbagai potensi
dan persoalan telah berada di depan mata untuk mewujudkannya. Untuk merumuskan
pendapat akademik dalam persoalan kemaritiman tersebut.
Forum Guru Besar (FGB) ITB mengadakan diskusi kelompok
terarah yang diadakan pada Jumat (31/10/14) di Gedung Balai Pertemuan Ilmiah
ITB mengundang Dr. Ir. Son Diamar (Anggota Dewan Kelautan Indonesia).Ada lima pilar
pembangunan maritim untuk dikembangkan. Pertama,
membangun SDM, budaya, dan iptek kelautan unggulan dunia. Kedua, mengembangkan ekonomi perikanan, pariwisata, ESDM,
pelayaran, dan konstruksi kelautan. Ketiga,
mengelola wilayah laut, menata ruang terintegrasi darat, dan laut serta
mengembangkan kota-kota 'bandar dunia' menggunakan prinsip berkelanjutan. Keempat, pembangunan sistem pertahanan
dan keamanan berbasis geografi negara kepulauan. Kemudian yang terakhir, kelima adalah mengembangkan sistem
hukum kelautan.
Kelima pilar di atas, khususnya pilar pertama dan kedua, sejalan dengan pendapaat Kasal. Melihat dari
kondisi kemampuan bangsa Indonesia sebagai negara berkembang, pencapaian
terwujudnya kekuatan ideal belum memungkinkan dalam waktu dekat, solusinya
adalah mewujudkan Pertahanan Keamanan Rakyat Semesta (Hankamrata) di laut. Hal
ini dapat dilaksanakan dengan cara membangun “gerakan maritimisasi”
Ipoleksosbud yang berorientasi dan berbasis laut. Ini adalah bahasa sederhana
dari sebuah gerakan mendayagunakan potensi laut secara menyeluruh dalam segala
aspek kehidupan.
Hal ini penting untuk ditindaklanjuti dan dipertimbangkan lebih jauh. Patut
diingat bahwa bangsa-bangsa besar dalam sejarah adalah bangsa yang menguasai
samudera seperti Inggris, Belanda dan Portugal, yang datang menguasai Timur
Jauh, semuanya melalui laut. Dalam sejarah kita, Majapahit, sebuah kerajaan
Nusantara pernah menguasai Samudera Hindia hingga ke Madagaskar. (Berita Dinas
Penerangan AL, 2/11’14)