Rabu, 30 November 2011

PTK guru SD : Membangun Kepedulian Lingkungan Siswa (Finalis MAB = Man And The Biosfere 2006)


 MEMBANGUN KEPEDULIAN LINGKUNGAN SISWA ELEMENTARY SCHOOL MELALUI  CHILDREN’S GARDEN  DAN  PENDIDIKAN TEATER SEBAGAI UPAYA PREVENTIF PELESTARIAN TAMAN NASIONAL BALURAN JAWA TIMUR@
(@ = Karya Tulis Ilmiah Finalis Piagam MAB 2006 Tingkat Nasional - LIPI dg UNESCO)
Untuk Membangun Kepedulian Anda pada Kesehatan klik : Alat Kesehatan
BAB I PENDAHULUAN
A.   LATAR BELAKANG 
Kita tahu bahwa, kehidupan anak berpusat pada rumah, sekolah dan lingkungan sekitarnya. Karena itu, wilayah tersebut harus menjadi tempat yang aman dan sehat bagi anak. Namun, kenyataannya tak jarang tempat-tempat itu tidak aman bahkan menjadi penyebab sebagian besar kematian dan penyakit yang menimpa anak, terutama di negara berkembang.
Dan laju perkembangan penduduk sampai saat ini masih merupakan fenomena nasional atau bahkan internasional, karena dengan jumlah penduduk yang semakin tinggi akan diikuti pemenuhan kebutuhan untuk menunjang kehidupannya. Indonesia saat ini mempunyai jumlah penduduk lebih dari 210 juta jiwa, yang tidak merata penempatannya diantara pulau-pulau yang ada dan sebagian besar berusia dibawah 30 tahun. Dengan adanya kenyataan bahwa hampir 79 % jumlah penduduk hidup dari sektor pertanian.dapat diperkirakan bahwa sarat dengan konsekuensi terhadap lingkungan hidup. (Marsono, 2004)
Pada awal tahun 1980-an luas hutan di Indonesia adalah sekitar 144 juta ha, yaitu pada saat dimulai penataan hutan berdasarkan Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) hampir seluruhnya berupa hutan alam dan hanya sedikit sekali berupa hutan tanaman. Dengan berjalannya waktu, sekitar 10 tahun berikutnya hasil inventarisasi hutan nasional pada awal tahun 1990-an luas areal berhutan tinggal menjadi 112,8 juta ha (78,06%) dan areal tidak berhutan menjadi 31,7 juta ha (21,94%). Adapun laju deforestasi pada akhir tahun 1980-an mencapai  600.000 ha/tahun dan meningkat tajam pada   tahun 1996 angka laju deforestasi menjadi 2.400.000 ha/tahun.  Sementara itu di Jawa pada umumnya telah mengalami degradasi yang luar biasa, yaitu bahwa hutan dan lahan yang mengalami kerusakan mencapai 10,7 juta ha atau 84 % luas daratan. (Marsono, 2004)
Aspek lain yang penting adalah kekayaan jenis baik flora maupun fauna yang lebih dikenal dengan biodiversitas atau keanekaragaman hayati. Indonesia dengan luas daratan hanya 1,3 % dari permukaan daratan bumi memiliki kekayaan jenis yang sangat besar, yaitu terbesar nomer tiga di dunia, antara lain mengandung 10 % jenis tumbuhan berbunga di dunia (+ 25.000 jenis), 12 % satwa menyusui ( + 500 jenis), 16 % jumlah jenis  reptil dan amphibi (+ 3.000 jenis), 17 %  jumlah jenis burung (+1.600 jenis) dan lebih dari 25 % jenis ikan (+ 8.500 jenis). Di samping itu tercatat pula 663 jenis fauna endemik, 199 jenis mamalia. Di bidang kehutanan terdapat 500 jenis Dipterocarpaceae dan 3.000 -  4.000 jenis Ochidaeceae.( Marsono, 2004). Kesemuanya itu, perlu kita lindungi dari kepunahan.
Khusus di Jawa Timur, dalam pandangan Sardiyoko, Direktur Eksekutif Walhi Jatim, hutan di daerah ini sangat buruk sekali. Semenjak tahun 1997 hingga 2004 keadaannya semakin kritis. Sebelum tahun 1997 keadaannya masih lebih baik, tapi sekarang sangat buruk. Dari luas hutan 1,35 juta hektar lebih, yang rusak 60 persennya.Ini semua karena kewenangan pengelolaan yang tidak dioptimalkan sama sekali.   Dari luas hutan yang sebenarnya bisa dibuat lahan percontohan di Jawa ini, benar-benar tidak dikelola dengan layak. Hampir semua hutan lindung yang ada di Jawa Timur tidak ada yang bisa difungsilkan. Jadi semua kegagalan pada sistem kewenangan pengelolan. Karena di Jatim hampir semua apa kata pusat sedang daerah menungguh perintah apa yang ada di pusat. Padahal daerah punya tanggung jawab yang besar terhadap bencana alam, kerusakan ekologi dan kekeringan yang diakibatkan rusaknya hutan. (Sapujagat, 1-15/12/ 2004)
Hutan mangrove di pesisir utara Jawa Timur  kembali terancam. Di Sidoarjo ratusan hektar hutan mangrove dibabat secara besar-besaran sejak tahun 1998 dan kayunya dimanfaatkan sebagai bahan baku arang. Fakta ini menambah daftar pajang kerusakan hutan mangrove di Jatim. Luas hutan mangrove di Jawa Timur  sebelum tahun 1980  sebesar 57.599 hektar, tahun 1982 sebesar 7.750 hektar, tahun 1996 tersisa 500 hektar  atau  1  persen dari luas sebelumnya. Terancamnya keberadaan mangrove di Jatim dikarenakan desakan kepentingan pengembangan kawasan industri, pemukiman, dan budidaya perikanan payau. Ketiga hal itu dipicu belum ditetapkannya Rencana Tata Ruang dan Wilayah Regional Pesisir Pantai Utara Jawa Timur. (Kompas, 4/4/2005)
Dr. H. Suparto Wijoyo, dosen Fakultas Hukum Unair dan Komisi Kerja Hukum Lingkungan BKPSL-Indonesia mengomentari moto “Surabayaku yang bersih dan hijau.” sepertinya tengah mengiang dengan makna filsafat yang mendalam serta membanggakan. “Inilah semboyan yang mewadahi ‘kontrak ekologis’ warga kota dengan Pemkotnya yang menjadi lintera pemandu dalam menata Surabaya masa depan. Namun, dari hasil studi terbukti, di dalam kota ini telah terjadi penyimpangan peruntukan lahan di seluruh segmen geografis wilayahnya, nyatanya kota  Pahlawan ini hanya memiliki 2,5 persen atau 736 hektar Ruang Terbuka Hijau (RTH),” ujarnya. Dan kritikan beliau terhadap Perda Kota Surabaya nomer 6 tahun 2004 tentang Perlindungan, Pengendalian serta Pemanfaatan Tumbuhan dan Satwa. Komentarnya, “Perda itu dilatar belakangi berkurangnya ekosistem, karena terjadi kelangkaan dan penurunan populasi tumbuhan dan satwa di kota. Penyebabnya ; pesatnya perkembangan fisik kota (pemukiman dan perdagangan), penangkapan (satwa) yang tidak terkendali, berkurangnya pepohonan yang menjadi habitat burung, belum optimalnya pengelolaan RTH., terjadi kerusakan hutan mangrove (bakau) di pantai yang menjadi habitat ikan, dan adanya polusi udara dan air.” (Flora Fauna Surabayazoo Magazine, September 2004)
Lantas, bagaimana sejatinya paradigma baru tentang lingkungan hidup  pada era reformasi sekarang ? Bagaimana mengupayakan optimalisasi Taman Nasional / hutan lindung / hutan mangrove di Jatim ? Dan bagaimana mengupayakan optimalisasi taman kota yang benar-benar representatif untuk sarana rekreasi keluarga dan berfungsi sebagai paru-paru kota? Pendekatan multidisipliner perlu digalakkan.
Pembaharuan yang paling manusiawi tak ada pilihan lain kecuali dengan pendidikan manusia pembina lingkungan. Ada tiga tempat yang tak dapat dipisahkan satu sama lain untuk melaksanakan pendidikan, termasuk lingkungan, yaitu rumah, sekolah dan masyarakat. (Soewardiati, 1992)
Pengertian, tanggung-jawab, dan penerapan ekologi kesehatan melalui pendidikan formal dan informal hendaknya dimulai dari institusi seperti Taman Kanak-kanak, Sekolah Dasar, dan seterusnya. Akhirnya akan menjadi norma dan budaya bangsa dalam ikut serta melestarikan kualitas hidup yang seimbang.
Informasi publik tentang pelestarian lingkungan hidup perlu digalakkan, baik melalui seminar, lomba, festival seni, pameran seni, dan  talk-show di media cetak atau elektronik. Hal penting lain perlu diperhatikan oleh semua pihak adalah menanamkan kepedulian lingkungan hidup pada anak. Salah satu cara  melibatkan anak pada dunia lingkungan hidup adalah melalui pengajaran ekstrakurikuler, khususnya kegiatan pengajaran teater. Memberikan wawasan pada jiwa mereka akan pentingnya menciptakan dan memelihara lingkungan yang bersih, sejuk, rindang dan damai  sanggat perlu kita tanamkan  sejak dini.
Untuk mengetahui sejauh mana pentingnya membangun kepedulian lingkungan hidup siswa sekolah dasar (elementary school) melalui children’s garden dan pendidikan teater, sebagai upaya preventif  pelestarian Taman Nasional Baluran Jawa Timur, maka dilakukan penelitian ini.

B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, masalah-masalah pokok di dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut :
1.    Bagaimana upaya elementary school  dalam mendidik insan peduli lingkungan?
2.    Apakah pendidikan teater  dapat mengupayakan secara preventif pelestarian Taman Nasional Baluran Jawa Timur ?
C. TUJUAN PENELITIAN
Adapun tujuan penelitian ini adalah :
1.  Melanjutkan dan menyempurnakan penelitian berjudul Upaya Elementary School  Peduli Lingkungan melalui Pendidikan Teater (Finalis Piagam MAB 2003).
2.  Untuk memperoleh informasi kondisi ligkungan hidup di Indonesia.
3.  Untuk memperoleh informasi upaya secara Internasional sampai regional  terhadap kelestarian lingkungan hidup.
4.  Untuk memperoleh informasi  upaya elementary school  dalam mendidik insan peduli lingkungan.
5.  Untuk memperoleh informasi pendidikan teater  dapat mengupayakan secara preventif pelestarian Taman Nasional Baluran Jawa Timur.

D. MANFAAT PENELITIAN
1. Bagi Peneliti
a.    Sebagai ajang penuangan ide atau pemikiran.
b.    Sebagai ajang pemecahan terhadap masalah yang diteliti.
c.    Sebagai wujud kepedulian terhadap lingkungan hidup.
2. Bagi Lembaga Pendidikan
            a. Sebagai informasi tentang pentingnya penyadaran peduli lingkungan hidup
                 lewat kegiatan kurikuler atau ekstrakurikuler.
            b. Sebagai sumbangan pemikiran terhadap pendidikan lingkungan hidup
                pada siswa sekolah dasar.



BAB II
KAJIAN PUSTAKA


A. KONDISI LIGKUNGAN HIDUP DI INDONESIA
Tidak dapat disangkal bahwa air merupakan kebutuhan mutlak bagi manusia. Pada awalnya air tidak menjadi masalah bagi manusia karena kebutuhan masih lebih rendah dari pada ketersediaanya. Namun sejalan dengan perkembangan jumlah penduduk  dan industri, kebutuhan air terus meningkat bahkan melebihi daya dukungnya dan mencapai titik kritis yaitu 1.000 meter kubik  per orang per tahun. Sebagai contoh di Jawa telah dilakukan secara besar-besaran di Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya dan Yogjakarta. Begitu besarnya penggunaan air tanah ini telah ditandai dengan penurunan muka air tanah (akuifer)  dan intrusi air laut yang semakin jauh ke darat. Pengamatan telah dilakukan di Bandung yaitu pada akuifer mencapai 40 - 150 cm atau 0,21 - 8,76 m /th, dan di Jakarta penurunan akuifer mencapai 17 meter. Oleh kerena  itu tidak mustahil bila dilaporkan terjadi amblesan tanah di Jakarta yang berkisar antara 10-100 meter. ( Marsono, 2004)
 Namun demikian, di musim kemarau, banyak baerah yang sudah menjerit kekurangan air. Di musim kemarau tahun 2003, sekitar 719 ha sawah di Purworejo mengalami kekeringan, kerena sulit mendapatkan air irigasi. Di Gunung Kidul pemerintah daerah dilaporkan baru bisa sekitar 22 ribu keluarga miskin atau sekiatr 25 % nya bisa memenuhi kebutuhan air bersih. Sebaliknya pada musim penghujan, air terasa berlebihan, banjir terjadi dimana-mana, bahkan tidak sedikit yang bersifat merusak produksi pangan, jalan raya dan perkampungan penduduk. (Marsono, 2004)
Dengan makin meningkatnya jumlah manusia, di Indonesia lebih dari 210 juta jiwa,  dan makin majunya teknologi, makin besar pula pengaruh manusia terhadap lingkungannya. Pada tahun akhir-akhir ini pengaruh manusia terhadap lingkungannya telah demikian besarnya, sehingga kualitas lingkungan kita benar-benar mengalami ancaman yang besar. Setiap tahun dalam musim hujan kita mengalami banjir di banyak tempat, tetapi dalam musim kemarau banyak sungai-sungai hanya mengalirkan sedikit air, sehingga banyak selokan-selokan menjadi kering. Hampir tak ada lagi sungai di negara kita ini yang airnya jernih; hampir semuanya airnya keruh mengandung lumpur, sehingga sungai-sungai dan pelabuhan-pelabuhan menjadi dangkal dan mengganggu pelayaran kita.
Akhir-akhir ini hutan-hutan alam di luar Jawa yang sudah lama dieksplotasi untuk komoditi ekspor non migas sudah banyak menimbulkan problem bagi kita, adapun salah satu fungsi hutan itu adalah sebagai paru-paru dunia. Kenaikan eksplotasi yang begitu cepat sehingga mengakibatkan kerusakan-kerusakan pada hutan kita yang tidak dapat diperbaiki lagi, dengan segala akibatnya yang merugikan. Antara lain terjadinya padang alang-alang, erosi tanah dan banjir. Mengingat bahwa pemulihan hutan memerlukan waktu yang lama, maka sangatlah penting agar eksploitasi hutan kita benar-benar dilakukan menurut pengelolaan yang menjamin hasil secara terus menerus dan bukan sekedar sebagai sumber devisa yang besar untuk jangka waktu pendek. Jika hal yang terakhir ini terjadi, maka kita sungguh akan berdosa terhadap anak cucu.
            Banyak daerah-daerah  mengalami penebangan pohon-pohonnya karena pelebaran jalan-jalan pembangunan gedung-gedung dan sering pula karena alasan yang tidak jelas. Hal ini ditambah dengan naiknya jumlah penduduk dan mesin-mesin, terutama mesin-mesin kendaraan bermotor, menjadikan udara kota tidak sehat. Hasil pembakaran mesin-mesin itu, antara lain CO2, CO dan senyawa-senyawa lain, mencemarkan udara kota. Kecuali itu kegaduhan pabrik-pabrik, kendaraan bermotor, kapal terbang dan lain-lain, menambah rusaknya lingkungan hidup manusia.
            Kebakaran hutan dan pembakaran hutan yang mengakibatkan bukan saja asap yang sangat mengganggu namun juga pencemaran udara yang sangat dan dianggap sebagai kontribusi pemanasan global. Dalam sepuluh tahun terakhir sudah lebih dari 5 juta hektar yang terbakar, di samping pembakaran karena peladanagan berpindah dan proyek penanaman hutan. Jumlah peladang diperkirakan sampai saat ini telah melebihi 1 juta kepala keluarga, yang hampir seluruhnya menggunakan api untuk persiapan ladangnya. Kontribusi karbon sebenarnya juga diperoleh dari pembakaran sampah, transportasi dan industri  yang memberikan antara lain Co, HC, klor, okida nitrogen dan belerang. Laporan WHO tentang keadaan di Surabaya menunjukkan bahwa sepeda motor memberi sumbangan terbesar pada pencemaran udara, yaitu 77% hidrokarbon, 51% CO, 51% untuk timbal, dan 91,8 % untuk parikulat organik, sedang mobil lebih rendah yaitu 15,4% untuk hidrokarbon, 36% untuk CO dan 49% untuk timbal. Secara umum dampak langsung pemanasan global ini telah dirasakan antara lain adalah suhu udara yang bertambah tinggi, El Nino, perubahan iklim dan lain sebagainya. (Marsono, 2004)
Masalah degradasi kualitas lingkungan kita adalah suatu masalah yang gawat dan mendesak untuk segera ditangani. Masalah lingkungan hidup makro ini diperlukan kerjasama secara interdisipliner dan perlu melibatkan banyak pihak sehingga kerjasama yang harmonis dan komprehesif perlu terus dicari formatnya. (Marsono, 2004)

B. PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP
Pelestarian terhadap lingkungan hidup yang sehat  merupakan masalah yang sedang hangat dibicarakan pada tingkat internasional sampai tingkat regional. Pada tingkat internasional upaya itu berupa Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi di Rio de Janeiro Brazil diadakan  pada tanggal 4 – 13 Juni 1992. Dalam KTT di negeri sepak bola tersebut, masalah terpenting yang dibahas adalah agenda 21, yaitu suatu program pelestarian lingkungan yang direncanakan mampu bertahan sampai abad ke-21. Dalam konfereinsi ini antara negara berkembang (G-77) dan negara maju (G-7) saling menuduh sebagai biang keladi pencemaran di Bumi.
Pada awal abad dua puluh para ahli lingkungan mulai tanggap terhadap kemerosotan kualitas lingkungan hidup. Hal ini diakibatkan oleh pola konsumtif dan penggunaan ilmu pengetahuan dan teknologi yang tinggi, serta kuantitas lingkungan yang menyempit akibat pertambahan penduduk. Telah ada bebera konferensi internasional tentang lingkungan hidup antara lain di Switzerland (1971) tentang pendidikan konservasi lingkungan, di Stockholm (1972) tentang lingkungan manusia, di Belgrado (1975), di Bangkok (1976) tentang pendidikan lingkungan hidup, dan di Rio de Janeiro Brazil (1992) tentang pencemaran ekologi bumi, serta di Johannesburg Afrika Selatan (2002).
Di Johannesburg saat KTT (Konferendi Tingkat Tinggi) Bumi pada hari Minggu, 25 Agustus 2002, para Ilmuan dihimbau kembali kepada etika moral keilmuwanannya, menghormati martabat manusia dan kreativitasnya, menghormati dan melindungi keberagaman budaya dan genetik, mengarahkan pengembangan teknologi bagi peningkatan kualitas kehidupan manusia dan kemanusiaan, tidak melakukan eksplotasi pada manusia dan kelompok manusia, serta terlibat dalam setiap perjuangan menghadapi tindakan yang membahayakan kehidupan dan lingkungan hidup. (Kompas, 17 /8/2002)
Pada tingkat regional, pemerintah telah menggalakkan budaya sadar lingkungan, yang ditempuh melalui media massa, motivasi-motivasi yang berupa penghargaan bagi penyelamat lingkungan, maupun penghargaan pada sekolah yang memiliki lingkungan yang sehat, asri dan bersih. Untuk hal yang terakhir ini pemerintah menggalakan melalui lomba lingkungan sekolah sehat (LLSS). Di samping itu pemerintah juga mengeluarkan peraturan perundang-undangan tentang konservasi sumber daya alam. Peraturan Pemerintah (PP) tersebut antara lain : a) PP RI  No..27 Tahun 1991 Tentang Konservasi Rawa,  b) PP RI No. 13 Tahun 1994 Tentang Perburuan Satwa Buru, c) PP RI  No.18 Tahun 1994 Tentang Pengusahaan Pariwisata Alam di Zona Pemanfaatan Taman Nasional, Taman Wisata Alam dan Taman Hutan Raya. Dan dilanjutkan dengan keputusan dan instruksi Presiden No. 32 Tahun 1990, Tentang Pengelolan Kawasan Lindung, serta Beberapa keputusan dan instruksi Menteri tentang penjabaran hal di atas. (Marsono, 2004)
Pemerintah juga mengeluarkan peraturan  perundangan nasional tentang hutan di Indonesia. Pada UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, UU  No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, dan UU No. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. (Marsono, 2004) 
Salah satu wujud riil pemerintah dalam melestarikan lingkungan  hidup adalah dengan menetapkan 17 lokasi Taman Nasional yang tersebar hampir di seluruh propinsi. Luas seluruh taman nasional tersebut 5 juta hektar lebih. Taman Nasional dengan luas terkecil adalah Gunung Gede Pangrango dengan luas 15.196 hektar yang terletak di Jawa barat dan terbesar Kerinci Seblat dengan luas 1.484.650 hektar yang terletak di empat propinsi, yaitu Sumatra Barat, Jambi, Sumatra Selatan, dan Bengkulu. (Sapari, 2001)
Adapun Taman Nasional di Jawa Timur ada empat, yaitu Taman Nasional Bromo Tengger Semeru dengan luas 58.000 hektar, Taman Nasional Meru Betiri dengan luas 50.000 hektar, Taman Nasional  Alas Purwo dengan luas 43.420 hektar, dan Taman Nasional Baluran dengan luas 25.000 hektar. (Sapari, 2001)
            Taman Nasional  tersebut mempunyai fungsi utama sebagai berikut : pertama, menjaga keseimbangan ekosistem dan melindungi sistem penyangga kehidupan. Kedua, melindungi keanekaragaman jenis dan mengupayakan sebagai sumber plasma nutfah. Ketiga, menyediakan sarana penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan, pendidikan, dan latihan. Keempat, memenuhi kebutuhan sarana wisata alam dan melestarikan budaya setempat. Dan kelima, merupakan bagian dari pengembangan daerah setempat. (Sapari, 2001)
C. KEPEDULIAN LINGKUNGAN HIDUP MELALUI PENDIDIKAN
Pandangan Islam dalam masalah sebab-sebab dan factor-faktor yang mengakibatkan kerusakan dan pencemaran lingkungan, yang mengganggu keseimbangannya, serta berbaliknya nikmat dan rahmat menjadi becana bagi manusia. Menurut Qaradhawi (2001), masalah ini sangat jelas, bahwasanya tingkah-laku manusia yang neyimpang dari sunnah Allah merupakan sebab pertama di balik semua itu. Allah subhanahu wa Ta’ala berfirman  : “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagaian dari akibat perbuatan mereka, agar mereka kembali (kejalan yang benar).” (Ar-Rum;41)
Berbagai masalah lingkungan yang dihadapi manusia di Bumi itu tidak terlampau sukar diidentifikasikan, bahkan tidak sulit dilakukan cara pemecahannya. Namun kenyataan membuktikan bahwa janji dan kesepakatan untuk melakukan tindakan guna memecahkan masalah lingkungan itu tak dapat terpenuhi. (Soewardiati, 1992 )
Pembaharuan yang paling manusiawi tak ada pilihan lain kecuali dengan pendidikan manusia pembina lingkungan. Ada tiga tempat yang tak dapat dipisahkan satu sama lain untuk melaksanakan pendidikan, termasuk lingkungan, yaitu rumah, sekolah dan masyarakat. (Soewardiati, 1992)
Rumah merupakan tempat pendidikan lingkungan yang pertama dan utama bagi anak-anak. Di rumahlah si anak pertama kali mendapat pelajaran dan contoh mengenai berbagai perilaku, terutama dari ibu dan bapaknya.
Pendidikan kedua adalah di sekolah. Pendidikan lingkungan di sekolah dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu bentuk kurikuler maupun esktrakurikuler. Pendidikan lingkungan juga dapat disisipkan pada mata pelajaran yang lain (Soewardiati, 1992). Di lingkungan pendidikan formal, titipan misi pelestarian lingkungan memang sudah di mulai dari Taman Kanak-Kanak (TK) sampai Perguruan Tinggi. Misi ini, baik lewat pelajaran IPA, IPS, Agama, PPKn, Bahasa Indonesia, maupun dalam bentuk mata kuliah seperti Ekosistem, Teknik Lingkungan, Kesehatan Lingkungan, Kimia lingkungan/ Pengetahuan Lingkungan telah dilakukan. Tujuan pengajaran Sains di Sekolah Dasar dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) disebutkan agar siswa ikut serta dalam memelihara, menjaga, melestarikan lingkungan alam, menghargai ciptaan Tuhan akan lingkungan alam,  dan mengembangkan pengetahuan dan pemahaman konsep-konsep sains yang akan bermanfaat dan dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. (Depdiknas, 2001)
Adapun  pada kegiatan ekstrakurikuler belum tertata secara trasparan, bagus  dan rapi tentang misi pelestarian lingkungan pada anak didik, baik tingkat TK, SD, SLTP, maupun SLTA.
Sedangkan pendidikan lingkungan ketiga adalah di masyarakat. Pendidikan lingkungan di masyarakat memegang peranan penting bagi anak sebab dalam lingkungan masyarakatlah, pengetahuan anak-anak mengenai lingkungan diterapkan.
Batasan pendidikan lingkungan hidup hasil dari  Konferensi Lingkungan Hidup di Bangkok pada tahun 1976 adalah sebagai berikut : Pendidikan Lingkungan Hidup adalah suatu program kependidikan yang disusun untuk mengembangkan fungsi kognitif dan afektif individu dan ketrampilan psikomotornya dengan mengarah untuk mengoptimalkan sumbangannya menuju peningkatan kualitas hidup, baik tingkat mikro maupun makro pada unit-unit keluarga, masyarakat dan bangsa dengan perhatian khusus terhadap strategi dinamika masalah-masalah lingkungan hidup manusia, baik secara individual maupun secara bersama-sama, untuk menghindarkan akibat-akibat yang merugikan. (Soedarmo, -) 

D. KEPEDULIAN LINGKUNGAN HIDUP MELALUI PENDIDIKAN TEATER
Tujuan pengajaran seni teater pada dasarnya ialah memberi bekal kepada siswa agar memiliki pengetahuan, pengalaman, dan kemampuan dasar berkarya dan berolah seni serta kepekaan artistik sebagai dasar apresiasi pada budaya bangsa. Secara rinci tujuan pengajaran seni teater di sekolah dasar pada kurikulum 1993/1994 antara lain : Pertama, memupuk dan mengembangkan kemampuan dasar siswa dalam berkarya dan berolah seni teater. Kedua, mengenal dan melatih siswa menguasai dasar-dasar seni teater. Ketiga, melatih dan mengembangkan kepekaan siswa terhadap keindahan seni. (Yandianto, 1993)
Kesenian pada dasarnya adalah salah satu cara seseorang memasyarakat. Kesenian adalah ekspresi seseorang untuk berhubungan dengan orang lain. Perkara ini amat menggejala dalam seni pertunjukan, sebab ekspresi seseorang dalam seni pertunjukan memerlukan hadirnya orang lain dalam aktivitasnya.
Seni pertunjukan tidak pernah berdiri sendiri lepas dari masyarakat, seni pertunjukan muncul, berada dan tumbuh di tengah-tengah masyarakat. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang amat lengket kehidupannya dengan seni teater. Istana Yogjakarta, rumah-rumah para bangsawan, rumah-rumah para priyayi Jawa, bahkan juga rumah-rumah rakyat yang dibangun untuk keperluar teater. Di Istana Yogja, di depan pendopo agung tempat raja di hadap oleh keluarga raja, terbentang pelataran berpasir dengan dua bangunan kecil dinamai “bangsal kotak”.
Disebut demikian karena di pelataran tersebut setiap tahun atau kesempatan tertentu dipertunjukkan teater “wayang Wong” dengan para pemain berada di tempat tersebut untuk menunggu giliran “dikeluarkan” oleh sang dalang.
Juga suatu kenyataan hidup bahwa kelompok teatar rakyat dimanapun di Indonesia dapat bermain di sembarang tempat seperti halaman rumah, di kebun, di tanah lapang dan lain-lain. Semua menunjukkan betapa seni teater merupakan bagian dari kehidupan mereka. (Sumardjo, 1992)
Imajinasi lebih kuat daripada pengetahuan ; impian lebih kuat daripada fakta. Kata-kata terkenal Robert Fulghum ini menunjukkan pentingnya menghadirkan dunia imajinasi yang sehat bagi anak-anak. Terlebih ketika kita mengetahui betapa dunia imajinasi anak kini sedemikian mengalami polusi. Ia digemgam budaya televisi, game, dan cergam, digiring kearah nilai-nilai yang jauh dari komitmen untuk membangun kepribadian sehat-kukuh-utuh. Dibakukan dalam figur hero : Mampu menyelesaikan masalah dengan cepat. Diseragamkan dalam perspektif bahwa hidup adalah hal sederhana : Asal kuat, pasti menang. (Ratnawati, 2002)
Ada pelajaran yang bisa ditarik dari penyelenggaraan siaran televisi demi terciptanya dunia imajinasi yang sehat bagi anak-anak. Mereka merebut hati anak-anak melalui jalinan cerita, yang kemudian didramatisir dan dikemas  dalam visualisasi menarik, lalu akhirnya disajikan menjadi sebuah tontonan anak-anak. Tampaknya disadari benar, bagaimanapun cerita merupakan media komunikasi yang amat menarik perhatian anak-anak. Belajar dari hal ini, tampaknya tidak salah manakala setiap sekolah menghidupkan peran drama dalam materi bahasa Indonesia atau dalam ekstrakurikuler teater  bagi anak.
Bahasa merupakan alat komunikasi yang sangat penting. Kalau seorang anak mempunyai masalah dengan bahasa, maka dia akan mendapat kesulitan di lingkungannya atau di sekolah.
Kita tahu bahwa seorang anak mendapat kosa kata yang dominan dari sang ibu. Kalau ibunya memberikan kata-kata  baik maka di anak bisa bicara yang baik, demikian juga bila sebaliknya. Kalau sang ibu memberikan perbendaharaan kata tentang lingkungan, maka anak juga belajar tentang lingkungan dan seterusnya.
Disadari atau tidak pada dasarnya kita suka bermain, apalagi dalam dunia anak. Karena itu sesuatu yang akan dipelajari atau disampaikan akan lebih menarik dengan memakai media bermain.
Begitu juga mempelajari seni peran (teater) dengan materi lingkungan hidup, permainan yang dilakukan bisa seperti kejadian yang dilihat atau dialami siswa. Misalanya : Saat memperagakan kerja bakti untuk menyiram bunga tetapi ada beberapa siswa tidak mengikuti, atau episode lain yang memperagakan kegiatan sekelompok anak sedang berburu (penembak burung).
Setelah semua siswa menyaksikan adegan yang diperankan oleh beberapa siswa yang telah ditunjuk maka guru atau pembimbing ekstrakurikuler dapat melakukan diskusi dengan semua siswa di kelas. Diskusi yang dilakukan yaitu diskusi kompetitif, dimana siswa melakukan dialog atau adu argumentasi untuk memperebutkan penghargaan. Penghargaan bisa berupa penyelamat lingkungan, pemerhati lingkungan, peduli lingkungan, atau garda peduli lingkungan.



BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

A.   PENDEKATAN PENELITIAN
Penelitian ini berorientasi pada penelitian “kualitatif deskriptif” (qualitatve descriptive design). Pendekatan kualitatif deskriptif menurut Arikunto (1993) pada umumnya merupakan penelitian non-hipotesis sehingga dalam langkah penelitiannya tidak perlu merumuskan hipotesis. Kualitatif deskriptif yang digunakan bersifat eksplorative, bertujuan untuk menggambarkan keadaan atau fenomena. Karena itu, penelitian ini dilandasi oleh pendekatan “Fenomenologis”, dalam arti berusaha menemukan kembali cara atau metode kepedulian manusia pada lingkungan melalui jalur pendidikan teater.
Penelitian kualitatif mengandalkan pengamatan berperan serta (participant observation) dan wawancara mendalam (indepth interview) sebagai instrumen sehingga menghasilkan data deskriptif yang berupa kata-kata tertulis atau lisan dan orang-orang atau pelaku orang yang diamati (Bungin, 2001).
           Latar penelitian ini adalah Sekolah Dasar (Elementary School) Al Hikmah Full-Day School Surabaya yang beralamat jalan Gayung Kebonsari Tengah 10 Surabaya. Penelitian ini dilakukan secara sengaja (purposively) dengan pertimbangan utama untuk mengetahui upaya elementary school  dalam mendidik insan peduli lingkungan. Dan Untuk memperoleh informasi pendidikan teater  dapat mengupayakan secara preventif kelestarian Taman Nasional Baluran Jawa Timur.

B.   TEKNIK PENGUMPULAN DATA
Penelitian ini menggunakan teknik “Field Research” dengan menggunakan studi kasus (case study). Karena itu, penelitian ini mengambil obyek dan waktu yang sangat terbatas yang memungkinkan penelitian dapat menemukan suatu subtansi dari persoalan-persoalan yang paling fundamental yang diteliti. Teknik pengumpulan data bersifat “cross-sectional” (silang), menurut Arikunto (1993) merupakan kompromi dengan “one-shot method” (menembak satu kali terhadap satu kasus) yang diteliti.
Robert Bogdan, dan Sari Knop Bilklen (1982)) menyebutnya dengan kesatuan sosial yang lebih luas walaupun hubungan antar sosial tersebut dengan populasi tidak dapat ditaksir.
Kesatuan sosial dimaksud dalam tulisan ini adalah para pengelola Lembaga Pendidikan Islam Sekolah Dasar Al Hikmah Surabaya dengan semua jajarannya. Sedangkan unit sosial yang dimaksud adalah semua komponen yang terlibat dan dilibatkan dalam interaksi belajar mengajar ekstrakurikuler teater.
Data yang diperlukan dalam penelitian ini, data primer, data yang diperoleh dari wawancara dan angket dengan responden, sedangkan data sekunder, data yang dikumpulkan dan sudah diolah dan di kumpulkan oleh pihak lain namun diambil referensinya dalam penelitian ini.

C.   ANALISA DATA
Data yang terkumpul akan dianalisis melalui beberapa cara, dan disesuaikan dengan pendekatan penelitian. Mengingat penelitian ini bersifat deskriptif eksploratif, maka data dianalisis melalui tahap : Reduksi data, data yang terkumpul dianalisis, disusun secara sistematis dan ditonjolkan pokok-pokok persoalannya.
Reduksi data merupakan usaha menyederhanakan temuan data dengan cara mengambil intisari sehingga ditemukan tema pokoknya, fokus masalah beserta motif-motifnya, cara lain dapat memberi gambaran yang lebih tajam dari hasil pengamatan.
Langkah berikutnya adalah melakukan display data, artinya data yang diperoleh dilapangan disajikan di data dan diatur sesuai dengan kronologisnya sehingga mudah dipatok dengan jelas. Langkah selanjutnya adalah menarik kesimpulan.

Untuk lebih lengkap hub. Drs. H. Mochamad Taufik (031-71374846)

1 komentar: